Supermi GoKar , dan Peperanganpun Terus Berlanjut

Monday, April 28, 2008


Mie Instan adalah salah satu makanan favorit masyarakat Indonesia. Pangsa pasar untuk mie instan ini dipimpin oleh Indofood dengan brand Indomie, Supermi, Sarimi, dan Pop Mie. Namun Mie Sedaap dari WingFood telah mampu membuat Indofood bergerak lebih cepat dalam berkomunikasi dan berinovasi. Salah satunya dengan hadirnya Supermi GoKar. Apa tuh ?


Supermi GoKar singkatan dari Goreng Kari, adalah salahsatu dari 3 varian baru Supermi. Dua yang lain adalah Supermi GoSo (Goreng Soto) dan Supermi GoBang (Goreng Ayam Bawang). Saya sendiri telah menemukan varian tersebut tersedia di salah satu jaringan hypermarket. Memang komunikasi atau iklan dari 3 varian Supermi itu belum terlihat, namun itu adalah hal yang wajar di era sekarang. Distribusi didahulukan, baru kemudian komunikasi gencar dilakukan via iklan. Tujuannya adalah agar masyarakat yang tertarik dengan iklannya, lalu tertarik untuk mencoba, kemudian dapat menemukannya di toko-toko.

Anyway, kompetisi memang selalu menyajikan inovasi-inovasi menarik serta memberikan keuntungan buat konsumen.

Sudah ada ada yang mencoba 3 varian Supermi yang baru ? Mie instant apa favorit anda ?

posted by Andrias Ekoyuono (andri)
for Inspirasi dan Studi Kasus Marketing Indonesia

picture taken from here

Baca artikel ini selengkapnya ...

Tarif Bicara Turun, Content Dituntut Makin Kreatif

Sunday, April 20, 2008

Baru-baru ini, salah satu penyedia content dan XL meluncurkan salah satu content terbaru yang menarik, yaitu novel terbaru dari Dewi "Dee" Lestari yang berjudul "Perahu Kertas"(yang prosesnya diceritakan di blog ini) . Novel ini dalam 6 bulan hanya akan diedarkan secara eksklusif melalui jaringan 3G XL, dengan cara mendownload langsung via wap XL Pembayarannya dapat dilakukan dengan basis langganan (mingguan) ataupun per bab dengan langsung dipotong dari pulsa pembelinya. Itu adalah salah satu kreatifitas penyedia content dalam menyikapi persaingan yang makin ketat dalam bisnis layanan penyedia content, apalagi di tengah turunnya tarif percakapan seluler. Kenapa turunnya tarif percakapan berpengaruh pada kreatifitas penyedia content ?

Pada dasarnya, semua penyedia content memperebutkan share of wallet dari konsumen seluler, artinya kue yang coba ikut dimakan adalah bagian dari Revenue Per User (baca: jumlah rupiah yang dibelanjakan pelanggan untuk membeli pulsa) tiap bulan. Dengan turunnya tarif percakapan seluler, maka pelanggan seluler akan cenderung menghabiskan lebih banyak uang (baca:pulsanya) untuk berbicara. Karena pelanggan merasakan mendapatkan value for money dengan tarif murah itu, maka pelanggan tidak sayang untuk menelpon, sehingga pada akhirnya total jumlah uang yang dibelanjakan untuk berbicara tiap bulan cenderung naik.

Namun kenaikan pembelanjaan uang untuk bicara secara signifikan itu -menurut pengamatan saya- cenderung tidak diikuti oleh kenaikan total pembelanjaan pulsa tiap bulan yang cukup sebanding dengan kenaikan belanja uang untuk bicara. Sehingga pelanggan tentu mengurangi aktifitas lain selain bicara seperti SMS dan berbagai layanan Value Added Service yang disediakan oleh penyedia content seperti SMS premium, download game, dll. Jadi kenaikan aktifitas bicara menyebabkan persentase bicara naik dalam share of wallet dari pelanggan, sementara layanan lainpun akhirnya turun share of walletnya.

Disinilah penyedia content dituntut untuk makin kreatif dalam menyajikan content-content seperti ringbacktone masih akan mampu menarik pelanggan untuk "merelakan" pulsanya karena ada unsur lifestyle dan ekspresi diri pelanggan disitu. Sementara itu, eksklusifitas penyebaran novel digital "Perahu Kertas" dari Dewi "Dee" Lestari -yang sebelumnya sukses dengan novel "Supernova"- adalah salah satu strategi tepat, karena bila novel digital itu dilaunching bersamaan dengan versi cetaknya, maka hasilnya tentu kurang maksimal.

Ada pendapat tentang content apa lagi yang masih dan bakal menarik, dan content apa yang bakal kurang menarik bagi pelanggan ?

Posted by: Andrias Ekoyuono (andri)
or Inspirasi dan Studi Kasus Marketing Indonesia

picture is taken from here

Baca artikel ini selengkapnya ...

Unilever pun Pernah Gagal

Monday, April 14, 2008


Unilever Indonesia adalah perusahaan yang dikenal luas sebagai perusahaan yang mampu "melahirkan dan membesarkan" berbagai brand yang akhirnya menjadi salah satu pemimpin pasar. Selain itu, Unilever Indonesia juga sukses mengakuisisi dan memperbesar brand-brand lokal. Tak perlu lagi dikisahkan kisah sukses Unilever Indonesia membesut Lux, Blue Band, Pepsodent, Lifebuoy, Dove, Pond's, Royco, Sariwangi, Taro hingga Bango. Namun Unilever pun pernah gagal.


Salah satu brand besutan Unilever yang gagal adalah Tara Nasiku. Produk nasi instan ini diluncurkan dengan harapan mampu menjadi makanan instan pengganti makanan pokok seperti halnya sukses mie instan. Logikanya cukup masuk akal, nasi adalah makanan pokok sebagian besar orang Indonesia, bila ada nasi instan maka akan besar kemungkinan produknya akan diserap dengan baik oleh pasar. Maka Tara Nasiku pun diluncurkan dengan didukung marketing communication yang luar biasa besar. Tapi produk itu gagal. Awalnya banyak orang mencoba Tara Nasiku, namun itu rupanya hanya first trial semata. Kelemahan Tara Nasiku yang mencolok adalah untuk menghasilkan nasi instan yang optimal, maka mesti dimasak dengan Teflon, hal inilah yang cukup menyulitkan konsumennya. Selain itu, rasa Tara Nasiku kurang berkenan di lidah kita (ataukah karena cara masaknya yang tidak benar ya ?). Pada intinya, ekspektasi akan rasa dan "instan" dari iklan Tara Nasiku ternyata tidak dipenuhi.

Ada lagi produk Unilever lain yang gagal, Mie&Me. Mie&Me yang diluncurkan sebagai Mie Instan yang lebih bertarget market anak muda, ternyata langsung disambut oleh sang pemimpin pasar Indofood dengan Chatz Mie. Kentara sekali Chatz Mie -yang diposisikan sebagai fighting brand- sangat mengganggu Mie&Me. Chatz Mie pun dikomunikasikan mirip dengan Mie&Me, sehingga konsumen dibuat susah membedakan antara keduanya. Belum lagi kekuatan distribusi Indofood yang susah digoyah oleh Unilever. Akhirnya Mie&Me pun tumbang, dan Chatz Mie pun segera dimatikan oleh Indofood.

Tapi Unilever bisa belajar dari kegagalan-kegagalan itu. Bisa dilihat bila saat ini Unilever cenderung mengakuisisi brand-brand lokal (Sariwangi, Taro, Bango, Buavita, dll) bagi bisnis makanan dan minumannya, karena brand yang sudah punya nama memiliki resiko lebih kecil. Tinggal pinter-pinternya Unilever membesarkan brand-brand itu.

What do you think ?

posted by Andrias Ekoyuono
for Inspirasi dan Studi Kasus Marketing Indonesia
picture taken from here



Baca artikel ini selengkapnya ...

Menemukan Hidden Needs and Wants

Tuesday, April 08, 2008


Hari senin lalu, IRadio membahas tentang "Guilty Pleasure", terungkap banyak sekali hal-hal yang suka dilakukan oleh orang-orang tetapi mereka malu mengakuinya atau menyembunyikannya dari orang lain. Semisal ada pendengar radio yang mengaku menyukai Sinetron Cahaya di RCTI tapi malu mengakuinya termasuk pada keluarganya, karena dia selalu bilang bahwa sinetron kita tidak bermutu, sehingga setiap nonton pasti sembunyi-sembunyi, dan hal semacam ini juga diamini oleh banyak pengirim SMS ke IRadio. Pengalaman serupa juga terjadi dengan hobi makan semur jengkol misalnya.

Punya pengalaman serupa ?

Demikian halnya dalam marketing, seperti dalam pengembangan produk maupun dalam menentukan program promosi. Seringkali muncul tantangan untuk menemukan kebutuhan atau keinginan "tersembunyi" dari target market.


Ada sebuah cerita dari seorang teman tentang riset yang dilakukan sebelum peluncuran majalah Cosmopolitan Indonesia. Pada waktu itu dilakukan riset terhadap target market majalah Cosmopolitan tentang content apa yang mereka sukai dari majalah wanita. Hasil riset tidak mencantumkan content edukasi seks sebagai salah satu content favorit atau yang paling diinginkan. Tapi ternyata setelah Cosmopolitan Indonesia diluncurkan, edukasi seks adalah salah satu content yang membuat Cosmpolitan digemari oleh para wanita.

Nah, itulah tantangan untuk membuat sebuah riset yang bisa mengungkapkan hal-hal yang tidak bisa diungkapkan oleh responden. Umumnya riset menemui kesulitan ketika berusaha mengetahui tingkat penerimaan pasar pada produk yang kategorinya sama sekali baru atau belum pernah ada padanannya di pasar, karena responden masih "bingung" akan kemauan dan keinginannya terhadap produk baru itu. Selain itu, ketika diadakan riset terhadap kebutuhan dan keinginannya, responden bisa saja tidak mengungkapkan yang sebenarnya karena malu, gengsi, ataupun beranggapan bahwa kebutuhan itu tidak ada gunanya untuk diungkap toh pasti tidak akan dipenuhi.

Untuk itu perlu dilakukan persiapan yang hati-hati ketika mendesain dan menganalisa hasil riset, siapa tahu anda terjebak pada hal-hal yang sebenarnya tidak penting dan mengabaikan hal-hal yang lebih penting dan masih tersembunyi.


posted by: Andrias Ekoyuono ( andri )
for Inspirasi dan Studi Kasus Marketing Indonesia

picture taken from here




Baca artikel ini selengkapnya ...

Kecap Sedaap dari Raja Follower

Tuesday, April 01, 2008

Satu lagi produk dari Raja Follower Indonesia, Wings, yaitu Kecap Sedaap. Setelah sebelumnya melakukan teaser dengan TVC dan billboard yang menggambarkan akan hadirnya produk kecap baru. Maka akhirnya Kecap Sedaap dilaunching juga ke market Indonesia. Siapa saja yang ditantang oleh Kecap Sedaap dan bagaimana strateginya ?


Dengan menggunakan Maudy Koesnaedi sebagai endorser yang menghiasi semua TV dan billboard barunya, Kecap Sedaap diluncurkan dengan tagline "Rasakan Bedanya" yang menantang calon konsumen untuk mencoba rasa dari Kecap (manis) Sedaap ini. Kecap Sedaap ini kabarnya telah dipersiapkan sejak lama, yaitu Wings memproduksi sendiri kecap manis untuk produk Mie Sedaap nya yang fenomenal itu. Memang Wings ( WingsFood) cukup serius untuk memasuki bisnis makanan, terbukti pula dengan didirikannya pabrik tepung terigu milik mereka sendiri untuk mengamankan pasokan tepung terigu untuk produksi Mie Sedaap.

Wings dikenal dengan keberhasilannya dalam menjadi follower lewat berbagai produk yang mampu menjadi jajaran papan atas penguasa market (meskipun tidak menjadi market leader) seperti SoKlin yang (follower dari Rinso), Ciptadent (Pepsodent), Smile Up (Close Up), GIV (Lux), Nuvo (Lifebuoy), Segar Dingin (Adem Sari) hingga ke Mie Sedaap yang sukses mengganggu dominasi Indofood (Indomie, Sarimi, Supermie). Formulanya selalu sama, Wings menawarkan produk dengan kualitas setara bahkan lebih baik dari sang market leader dengan harga penjualan yang lebih rendah dari harga sang market leader.

Tapi untuk pasar kecap ini sedikit berbeda, tidak seperti pasar lain yang sukses dinikmati oleh Wings, pasar kecap tidak didominasi oleh sebuah brand atau perusahaan. Bila di mie Instan didominasi oleh Indofood, dan toiletries didominasi oleh Unilever, maka pasar kecap nasional paling tidak dinikmati oleh 4 brand besar yaitu Bango, ABC, Nasional, dan Indofood yang secara bergantian memimpin pasar untuk wilayah-wilayah tertentu. Belum terhitung masih kuatnya banyak brand lokal di tiap wilayah. Apalagi berbagai modern market juga mulai memasarkan kecap private label mereka sendiri

ps : Kecap lokal apa yang populer di daerah anda ?

Kecap Sedaap tentu dihadirkan dengan harga yang murah serta didukung distribusi yang kuat dari Wings Group, namun "perang" kali ini tidak akan lebih mudah, karena lawan yang dihadapi lebih banyak.


posted by Andrias Ekoyuono ( andri )
for Inspirasi dan Studi Kasus Marketing Indonesia
picture taken from here


Baca artikel ini selengkapnya ...