Brand Crisis Management

Wednesday, August 29, 2007

Hal yang paling ditakuti oleh pemilik brand adalah rusaknya image dan reputasi dari brand yang telah dibangun bertahun-tahun. Rusaknya image atau reputasi bisa mengakibatkan produk-produk menurun penjualannya, bahkan bisa ditolak oleh masyarakat. Rusaknya brand bisa diakibatkan oleh hal internal seperti menurunnya kualitas produk, ataupun hal eksternal seperti kecelakaan (seperti pada penerbangan) ataupun isu-isu negatif yang beredar seputar brand.

Di era informasi seperti ini, mudah sekali isu negatif menyebar melalui berbagai media seperti koran, televisi, media online, dan email. Pembaca tentu sering sekali menerima informasi dan atau hoax yang mengalir dari email ke email, dan email seperti itu biasanya langsung diforward ke rekan-rekan yang lain, itulah salah satu contoh begitu mudah dan cepatnya isu negatif membuat sebuah brand terjebak dalam krisis.


Nah bagaimana pengelola brand mengangani isu negatif itu ?

Tentu saja pencegahan yang paling mendasar adalah mulai dari internal perusahaan, yaitu memastikan bahwa semua produk yang dijual sesuai dengan segala peraturan yang berlaku, termasuk memastikan bahwa kualitas yang diberikan kepada konsumen adalah sesuai dengan janji yang telah diberikan.


Kemudian apabila isu negatif sudah menerpa, maka yang paling penting adalah kecepatan dalam menanggapi isu tersebut dengan memberikan keterangan yang benar, tepat, dan media yang sesuai. Kemudian juga perlu diajak tokoh/pihak yang berkompeten yang memberikan pernyataan untuk memberikan tambahan penjelasan. Kenapa kecepatan saya cetak tebal ? Karena itu adalah faktor yang penting sekali dalam mencegah kerusakan brand lebih lanjut. Kita bisa belajar dari kasus isu formalin di Pepsodent dan beberapa produk Unilever baru-baru ini.

Seperti kita ketahui, Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ) mengumumkan beberapa produk Unilever mengandung formalin. Maka Unilever dengan cepat memberikan tanggapan dengan detail tentang isu tersebut lewat berbagai media seperti detikcom (
disini dan disini) , media cetak, juga di situs resmi mereka. Tanggapan dari Unilever itu saya amati juga dicover oleh lebih banyak media dibandingkan ketika berita itu dilemparkan oleh LKJ. Selain itu ada juga tanggapan dari BPOM yang mendukung pernyataan Unilever bahwa produk-produk mereka aman. Karena cepatnya tanggapan itulah maka isu formalin -sampai saat ini- tidak berkembang menjadi bola salju yang menghantam penjualan Pepsodent, Clear, Lifebuoy, maupun Sunsilk. Bahkan mungkin sebagian besar dari kita belum sempat "ngeh" akan adanya isu formalin tersebut. Selain itu terlihat ada upaya dari Unilever untuk memberikan penjelasan yang jujur dan terbuka tanpa menutup-nutupi bahwa Pepsodent dan produknya yang lain mengandung formaldehyde namun masih jauh dibawah ambang batas yang diperbolehkan.

Hal yang berbeda terjadi ketika krisis akibat kandungan bahan pengawet di dalam Mizone (yang sebenarnya juga masih dalam batas aman BPOM). Disitu terjadi keterlambatan penanganan isu sehingga terjadi penurunan penjualan Mizone yang sangat drastis. Akibatnya diperlukan waktu hampir setahun untuk melakukan recovery, itupun dengan biaya sangat besar untuk memberikan penjelasan melalui berbagai iklan di media.


What do you think ?
posted by Andrias Ekoyuono (andri)
picture taken from here

7 comments:

Anonymous said...

Manajemen Unilever memang cepat menanggapi, sehingga tak sampai terjadi krisis kepercayaan dari konsumen.

Anonymous said...

Disinilah peran divisi Public Relations untuk meng-counter dan meng-klarifikasi segala isu-isu negative yang mendera sebuah brand, selain membangun pencitraan yang bagus terhadap brand tsb.

andri said...

#edratna
Memang bu, kalau cepat tanggap maka bola salju isu diharapkan tidak makin menggelinding dan membesar

#street marketer
Benar, PR memang seharusnya bahu-membahu dengan marketing dalam hal ini

Anonymous said...

saya lebih tertarik (dan masih penasaran), udah ada belom ya, yg nemuin lagu kucing garong 3 stanza? huehehe....

Anonymous said...

Brand Crisis Management jarang diterapkan di perusahaan Indonesia. Mereka tidak peka terhadap krisis karena krisis dianggap bukan bagian dari bisnisnya. Itu sebabnya ketika krisis tiba, manajemen krisisnya kurang bagus. Hal ini tidak terjadi pada perusahaan kelas dunia seperti Unilever yang sudah terbiasa menghadapi krisis, sehingga manajemen krisis sudah menjadi bagian dari bran d manajemen perusahaan

Anonymous said...

Benar Pak Nukman..

Yg mengkhawatirkan juga, adalah banyak perusahaan yg belum memaksimalkan fungsi Brand Management, atau masih belum mengerti apa pentingnya brand.

Anonymous said...

Sebuah posting yang menarik. dalam manajemen krisis, mungkin yang paling penting ada dua hal : transparan (atau mengungkapkan fakta apa adanya, dan mohon maaf bila memang salah) serta proaktif menjelaskan fakta yang ada (tidak tertutup). Kisah paling klasik dalam hal ini mungkin kasus Tylenol (punya Johnson and Johnson) -- yang harus ditarik dari pasar lantaran terdeteksi mengandung racun yang mematikan.