Bagaimana Memilih Waralaba ( Franchise )

Tuesday, September 18, 2007

Salah satu cara dalam memulai bisnis adalah dengan menjadi franchisee (penerima waralaba), yaitu mengambil hak waralaba ( franchise) dari pemberi waralaba ( franchisor ). Misalnya menjadi franchisee dari Kebab Turki Babarafi, Primagama, atau Alfamart. Franchise bisa diambil dari franchisor dalam negeri maupun luar negeri. Menjadi franchisee adalah salah satu cara yang dianggap praktis dalam memulai bisnis ataupun berinvestasi.

Namun menurut saya, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan oleh seorang calon franchisee dalam memilih franchise guna meminimalisasikan resiko bisnis.

1. Known Brand is Preferable

Keuntungan utama dengan menjadi franchisee adalah kita tidak perlu membangun sendiri image dan reputasi dari brand, karena membangun brand agar diterima konsumen memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Berkaitan dengan itu, maka menjadi franchisee dari brand yang sudah dikenal masyarakat adalah pilihan ideal, karena brand itu sudah memiliki persepsi di calon konsumen dan menjadi semacam "jaminan" bagi datangnya konsumen ke gerai kita. Tentu konsekuensinya adalah semakin terkenal brandnya maka biaya awal dan biaya royalti yang diminta oleh franchisor biasanya makin besar. Namun saya rasa sangat masuk akal bila kita berharap tidak perlu susah payah ikut membangun brand dari hampir 0 ketika kita menjadi franchisee.

2. Clear System

Semua sistem yang mendukung operasional maupun pembagian hasil dari franchise tersebut harus jelas. Mulai dari sistem pembagian area franchisee, sistem Supply Chain, sistem training, promosi, sistem konsultasi hingga sistem administrasi/finance haruslah jelas. Kemudian amatilah apakah ada potensi kegagalan maupun keruwetan sistem yang akan memicu kerancuan operasional. Diskusikan semua sistem secara terbuka dengan franchisor, jangan sampai kita dibuat terkaget-kaget di tengah jalan dengan sistem yang tidak kita pahami dari awal.

3. Proven Track Record

Jangan hanya terbuai oleh brosur dari franchisor. Lakukan riset di lapangan terhadap franchisee-franchisee yang telah terlebih dahulu mengambil franchise itu, apakah memang mereka benar-benar menikmati keuntungan dan kemudahan, dan apakah ada kendala yang membuat mereka kecewa. Atau cara lain adalah dengan melakukan pengamatan lapangan terhadap operasional para franchisee tersebut.

4. Research

Lakukan riset sendiri tentang kaitan antara potensi bisnis dan calon lokasi yang hendak pilih. Juga tentang berbagai kendala yang kemungkinan menghadang di lapangan. Biasanya pihak franchisor sudah menyediakan pilihan lokasi atau riset potensi pasar di wilayah tertentu, namun alangkah baiknya bila kita sendiri juga melakukan riset sehingga kita benar-benar tahu keadaan di calon lokasi yang hendak kita pilih.

5. Be careful with Franchisor's Personal Brand

Kadang ada brand franchise yang sangat tergantung pada personal brand dari pemilik brand franchise tersebut. Hal ini di satu sisi bisa menguntungkan apabila memang personal brand dari sang pemilik sedang dipersepsikan positif oleh masyarakat. Namun tentu rekan-rekan masih ingat tentang sebuah restoran yang pemiliknya sangat dikenal karena kampanye poligami. Di satu sisi hal itu sangat mengangkat nama restoran tersebut, namun ketika terjadi over-exposed tentang poligami sang pemilik, dan terkesan terjadi over-used maupun over-campaign terhadap kegiatan poligami itu, maka muncul juga persepsi negatif dari sebagian masyarakat, terutama sebagian ibu-ibu. Akhirnya restoran-restoran dari para franchisee juga ikut terkena imbasnya dengan penurunan jumlah konsumen, bahkan ada yang sudah ditutup. Saran saya, lebih baik menghindari franchise yang sangat melekat dengan personal brand pemilik brand franchise. Sehingga menghindari resiko ikut terseret fluktuasi dari personal brand pemilik brand.

6. Hard Work is Just Started !

Last but not least, setelah mengambil franchise bukan berarti kita tinggal duduk manis dan menikmati mesin uang yang bekerja buat kita. Kerja keras, analisis, adaptasi dan improvisasi terus menerus tetap diperlukan. Implementasi berbagai strategi dan taktik harus selalu dikomunikasikan dengan franchisor agar implementasi tersebut tidak melanggar sistem, dan bahkan masukan franchisee juga amat dibutuhkan oleh franchisor dalam rangka memperbaiki sistemnya.


What do you think ?

posted by : andrias ekoyuono ( andri )
picture taken from here

5 comments:

Anonymous said...

tapi dibandingin bikin sesuatu yg bener2 baru, beli franchise yg udah jadi relatif lebih 'aman' ya mas?

kadang2 pengen juga, tapi gak ada yg murah jeee... :D

oiya, beneran sampeyan di citragran? aku email tadi, nyampe gak?

Anonymous said...

5. Be careful with Franchisor's Personal Brand....

Iya ini yang harus dihindari...karena harus diingat siapa yang menentukan pemilihan restoran? Jawabannya kaum wanita (bisa isteri, sekretaris yang umumnya wanita).

Saya dan bos saya (wanita) ga mau mampir ke restoran yang diceritakan itu...walau enaknya kayak apa. Sentimen? Sebetulnya enggak, karena menurut saya itu sudah menyentuh area pribadi yang sulit didefinisikan.

andri said...

#venus
Memang harapan franchisee ketika mengambil franchise adalah "less risky" atau lebih "aman". Makanya kita mesti waspada sesuai tips2 saya itu mbok, biar gak kejeblos :-)

#edratna
Memang bu, wanita pegang peranan dalam memilih restoran, apalagi restoran keluarga. Di beberapa kasus malah anak yang pegang pengaruh, meskipun orangtua tetap yang memutuskan, itulah kenapa McD bikin tempat mainan anak agar si anak mengajak seluruh keluarganya ke McD

Bangsari said...

konsumen kok tambah bodo ya? beneran ini. semakin lama ketergantungan terhadap produk semakin kentara. intine belanja menjadi candu.

Anonymous said...

Tambahan, tips dari Tung Desem Waringin, pilihlah franchise yg sudah bertahan lebih dari 4 tahun karena biasanya sudah stabil.

Kalau tambahan saya, pilih franchise yang tidak mudah ditiru produknya. Di Surabaya ada franchise kentang goreng yang sempat booming. Namun skrg sudah mulai sepi karena rame2 dijiplak produknya dan tentu dengan harga yg lebih murah.